Kisah Tertangkapnya Kiai Mojo
Dalam kisah terdahulu dipaparkan Diponegoro bercerita kepada Letnan Knoerle bahwa untuk mengikat kesetiaan para panglima perangnya, Diponegoro menikahkan dengan kerabat-kerabatnya. Dengan pernikahan itu, menjadikan kesetiaan mereka menjadi terjamin. Untuk itulah tidak mengherankan jika Kiai Mojo dinikahkan dengan mantan istri Pangeran Mangkubumi yang kemudian berganti nama menjadi Raden Ayu Kiai Mojo.
Di Perang Jawa dalam memilih panglima perang, dipilih dengan cara yang unik. Diponegoro lebih suka menjadikan anak-anak muda belasan tahun usianya untuk dijadikan panglima perang. Syaratnya dia seorang yang pemberani, berkharisma, tidak sakit-sakitan dan dapat memimpin anak buahnya dalam sebuah pertempuran. Untuk itulah Diponegoro merasa heran kepada kolonial, karena mereka memilih para jenderal perangnya dengan sosok yang usianya paruh baya bahkan ada yang usia senja.
Pembaca yang budiman hari itu sudah berganti menjadi hari Minggu, 23 Mei 1830. Sepanjang hari Minggu itu merupakan hari yanag naas bagi Letnan Knoerle dan Diponegoro. Letnan Knoerle menderita sakit kepala yang parah dan Diponegoro demam tinggi karena penyakit malaria tertiananya kambuh kembali. Untuk itulah Letnan Knoerle tidak beranjak dari kabinnya menuju kabin Diponegoro untuk ngobrol-ngobrol, tetapi lebih suka berdiam di kabinnya sepanjang hari.
Pada hari Senin 24 Mei 1830, Letnan Knoerle sudah mulai sembuh dari sakit kepalanya. Diponegoro juga sudah sembuh dari demamnya. Untuk itulah keduanya kemudian bertemu di kabin Diponegoro dan melanjutkan pembicaraan tentang Kiai Mojo. Letnan Knoerle sengaja mengarahkan membicarakan tentang Kiai Mojo karena Letnan Knoerle ingin mengorek lebih jauh tentang ulama besar itu hingga sampai jatuh ke tangan Kolonial Belanda.
Diponegoro mengatakan bahwa sebelum Kiai Mojo ditangkap oleh kolonial, sebenarnya Kiai Mojo meminta kepada Diponegoro tentara sebanyak 500 personel untuk dibawa ke Pajang, dekat Surakarta. Hal ini karena Kiai Mojo ingin memisahkan diri dari kesatuan Diponegoro dan menggelar medan laga di Pajang menghadapi kolonial. Karena permintaan Kiai Mojo masuk akal, maka Diponegoro menyetujui permintaan itu.
Diponegoro juga mengatakan, tidak lama kemudian Kiai Mojo meminta lagi prajurit sebanyak 500 personel kepada Diponegoro untuk menambah daya kekuatan. Mendapat permintaan itu Diponegoro mengaku menolaknya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya ketegangan diantara mereka.
Memang diantara pasukan cadangan yang diminta sebayak 500 personel yang kedua itu termasuk 300 pasukan Bulkio yang merupakan pasukan elite Diponegoro di bawah komandan panglima-panglima berpengalaman seperti Muhammad Ngusman Ali Basah. Permintaan kedua ini terjadi antara perundingan pertama dan kedua Kiai Mojo dengan Kolonial Belanda yang berlangsung masing-masing 31 Oktober dan 5-9 Nopember 1828.
Permintaan pasukan yang kedua ini juga tidak disetujui oleh Pangeran Ngabehi atau Pangeran Joyokusumo I, paman sekaligus penasihat perang Diponegoro, sehingga menyulut ketegangan antara Kiai Mojo dengan Pangeran Joyokusumo I.
Setelah permintaan pasukan yang kedua tidak berhasil, secara diam-diam Kiai Mojo kemudian berangkat lagi ke Mlangi dengan tujuan melakukan perundingan sendiri dengan Kolonial Belanda. Kiai Mojo ingin begabung dengan kolonial dengan sejumlah syarat. Sebelumnya Kiai Mojo memang mendapatkan lampu hijau untuk berdamai dengan kolonial, walaupun akhirnya harapan itu palsu.
Dia mengadakan perundingan dengan Kolonial di Pesantren Mlangi dengan Mayor Tumenggung Wironegoro dan Kapten Johan Jacob Roeps (penerjemah bahasa Jawa saat Diponegoro dalam perjalanan dari Magelang ke Batavia). Dalam naskah Jawa yang ditulis di Tondano, mengisyaratkan bahwa Kiai Mojo ingin berdamai dengan kolonial demi kemaslahatan hamba-hama Allah, kesejahteraan Jawa, dan kelestarian agama Islam.
Bisa jadi ketika Kiai Mojo akan menyerahkan diri dengan membawa pasukannya yang berjumlah 500 personel itu dengan harapan akan diakui sebagai komandan dan penguasa independen di Jawa Tengah Selatan. Niat Kiai Mojo berunding yang kedua di Mlangi itu akhirnya tidak pernah terjadi, karena pasukan gerak cepat Le Bron sudah ditugaskan agar Kiai Mojo dan pasukannya tidak akan lolos dari penangkapan.
Ketika perundingan di Mlangi gagal, maka Kiai Mojo dan pasukannya pada 10 Nopember 1828 bergerak menuju ke Pajang. Pada 12 Nopember 1828 ketika di lereng Gunung Merapi di daerah Babadan, Kiai Mojo dan pasukannya diberi waktu 2 menit untuk memutuskan menyerah tanpa syarat atau bertempur sampai mati. Saat itu pasukan Le Bron sudah mengepung pasukan Kiai Mojo dengan senjata lengkap. Dalam keadaan sulit itu akhirnya Kiai Mojo dan pasukannya menyerah.
Kiai Mojo dan pengikutnya akhirnya diangkut ke Batavia dan ditahan selama satu tahun di bawah tanah di Balaikota Batavia. Setelah satu tahun ditahan di Batavia, kemudian pengasingannya berakhir di Tondano. Dalam naskah Kampung Jawa Tondano menyebutkan Kiai Mojo yang terhormat itu sama sekali tidak menyerah. Dia dan pasukannya ke Batavia karena diundang untuk bernegosisasi dengan pejabat Belanda yang kedudukannya lebih tinggi di Batavia. Dalam naskah itu disebutkan perjalanan melewati Salatiga menuju Semarang dan kemudian ke Batavia.
Tertangkapnya Kiai Mojo segera terdengar di telinga Diponegoro sehingga Diponegoro menjadi lebih waspada jika kolonial mengajak berunding untuk negosiasi karena dengan kelicikan dan tipu dayanya pasti akan menangkap para tokoh yang ingin bernegosiasi.
Bagaimana kisah-kisah berikutnya saat Sang Pangeran di Kapal Pollux? Ikuti terus artikel ini yang tentunya ditemukan kisah-kisah menarik lainnya. Tunggu episode berikutnya, ya.
Penulis: Lilik Suharmaji
Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.
Bacaan Rujukan
Carey, Peter. 2022. Percakapan Dengan Diponegoro. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.










