Ketika Kaum Komunis Dieksekusi Algojo di Bukit Tengkorak : Mana Ada Tuhan?
PERBUKITAN Seulawah di Aceh menjadi saksi bisu pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis pada 1965. Tempat tersebut bukan satu-satunya, tapi hanya salah satu dari lokasi berdarah peristiwa kelam kala itu.
Udin, nama samaran, merupakan salah satu algojo pembantai orang-orang yang dituduh PKI. Udin memberikan kesaksiannya dan mengaku masih menyimpan parang untuk mengeksekusi para korban kala itu.
"Saya masih simpan parang untuk memotong leher orang-orang PKI. Kalau bapak mau lihat, silakan," kata Udin mengawali wawancara, seperti dilansir dari BBC News Indonesia, Selasa (12/9/2023).
Lebih dari puluhan tahun, ingatannya atas tindakan kejam di malam-malam jahanam di lubang-lubang pembantaian di sekitar Simpang Betung di perbukitan itu, sepertinya, tak lekang oleh waktu. Ia masih ingat apa yang disebutnya percakapan terakhir dan sekelumit kejadian di menit-menit menjelang para algojo mengayunkan parangnya ke tengkuk para korban.
"Ada yang membawa kitab Surat Yasin di kantong bajunya," ungkapnya.
"Tapi," imbuhnya cepat-cepat, "ada pula yang memberikan jawaban murtad "mana ada Tuhan, apa Tuhan, mana Tuhan?\'" Ini barangkali semacam pesan terakhir sebelum parang diayunkan ke tengkuk orang-orang komunis itu.
Saya bertemu Udin di sebuah kedai kopi tidak jauh dari salah satu lokasi pembantaian di Simpang Betung, disebut pula sebagai \'Cot PKI\' atau \'Cot Tengkorak\'. Cot adalah bukit dalam bahasa Aceh. Perawakannya gempal dan tingginya sekitar 155 cm. Kopiah hitam menutupi rambutnya yang memutih. Kumis tipis habis dicukur melintang rapi.
"Saya dulu gagah, berkumis tebal," Udin terkekeh. Dia menyebut dirinya \'jagoan yang ditakuti\' di kampungnya pada saat itu.
Siang itu Udin memang acap kali mengumbar tawa. Hampir semua pertanyaan seputar peristiwa pembantaian di perbukitan sepi itu dia jawab. Namun semula tidaklah gampang meyakinkannya agar mau \'berbicara\'. Udin mengaku harus berkonsultasi dengan seseorang yang disebutnya ulama untuk mengiyakan atau tidak.
Setelah sang ulama mengeluarkan semacam petunjuk, Udin akhirnya bersedia menerima BBC Indonesia, tapi dengan syarat, yaitu, jati dirinya harus disembunyikan.
Saat kami bertemu di sebuah warung di pinggir jalan tak jauh dari lokasi lubang-lubang pembantaian, Udin awalnya menyerahkan secarik kertas kecil dalam kondisi terlipat. Tidak lama kemudian, saya membukanya perlahan. Ada tulisan tangan di dalamnya. Isinya: Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan ajaran komunisme/marxisme.
Ayah lima anak dan kakek sembilan cucu ini tak menjelaskan tujuannya memberikan kertas dengan teks seperti itu. Suara gonggongan anjing pemburu babi hutan yang mengambang di kejauhan, juga sesekali raungan kendaraan roda empat di jalan raya, akhirnya mengalihkan fokus saya.
"Dahulu sepi sekali di sini, masih hutan," kata Udin. Sebagian lubang pembantaian kini berubah menjadi lahan kebun warga, katanya.
Sebagian, masyarakat yang tinggal tak jauh dari perbukitan itu, menurut sumber BBC Indonesia, menyebut Udin ikut terlibat membantai orang-orang yang dituduh PKI di Bukit Tengkorak dan sekitarnya setelah 1 Oktober 1965.
Udin disebut sebagai salah seorang algojonya. Dia bahkan disebut pernah dilibatkan dalam eksekusi di lokasi pembantaian di Banda Aceh.
Namun dalam wawancara, pria ini mengaku hanya mendapatkan cerita perihal pembantaian itu dari para algojo. Dia lantas meminta agar kami menempatkan dirinya sebagai saksi mata dari kejadian pembantaian tersebut.
Menurutnya, dia hanya berperan kecil, sebagai salah-seorang petugas di pos jaga, tidak jauh dari lokasi pembantaian.
"Saya hanya hansip yang berjaga di pos di dekat jalan raya Cot Betung," akunya. Udin mengaku dikirim oleh kantor camat setempat untuk ditempatkan di pos itu, karena kekurangan petugas.
Tugasnya \'memantau\' rombongan truk yang membawa para pesakitan ke lokasi pembantaian. "Jam sembilan malam, sudah sampai di sini pos. Waktu itu gelap dan sepi."
Siapa yang membawa para tahanan itu? Tanya saya. "Campuran," katanya. "Ada TNI, polisi, polisi militer, dan Pertahanan Sipil (Hansip) dari kecamatan. Jadi ada empat satuan."
Kepada petugas pos, orang-orang yang membawa tahanan komunis itu menunjukkan daftar nama yang akan dibunuh di lokasi itu.Udin mengaku tidak dipersenjatai, kecuali berseragam lengkap ala anggota Hansip.

