Menggagas Fikih Siyasah Indonesia 17 Bolehkah Non Muslim Menjadi Kepala Negara Pendapat Pertama

Menggagas Fikih Siyasah Indonesia 17 Bolehkah Non Muslim Menjadi Kepala Negara Pendapat Pertama

Travel | BuddyKu | Rabu, 7 Juni 2023 - 06:03
share

Pertanyaan kontemporer yang selalu muncul di dalam wacana politik Islam ialah, bolehkah non-muslim menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan di negara mayoritas muslim?

Setidaknya ada tiga pendapat tentang hal ini. Pendapat pertama berpandangan, jika dalam suatu negara warga muslim menempati posisi mayoritas mutlak, maka yang harus menjadi Kepala Negara ialah seorang muslim.

Pengecualian jika negara tersebut sedang dijajah kekuatan luar yang superpower, yang jika dilawan akan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di pihak muslim lebih besar. Di antara alasan yang dijadikan pegangan ialah, dalil Al-Quran, seperti:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim. (Q.S. Al-Maidah/5:51).

Ayat lainnya ialah: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (Q.S. Ali Imran/118).

Ayat lainnya: Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (Q.S. Al-Nisa/4:141).

Ayat-ayat tersebut di atas dianggap cukup jelas dan tegas melarang non-muslim sebagai Kepala Negara di negara mayoritas penduduknya muslim.

Walaupun ayat-ayat tersebut di atas dikomentari oleh kelompok yang melihat kemungkinan orang-orang non-muslim menjadi Kepala Negara di negara muslim jika ia memenuhi persyaratan.

Alasan logika yang digunakan ialah merupakan sesuatu yang wajar jika suatu negara mayoritas memilih dari kelangannya sendiri sebagai Kepala Negara.

Di negara-negara Eropa, Amerika, atau Negara tertentu yang mayoritas penduduknya non-muslim selalu memilih Kepala Negara dari non-muslim.

Meskipub, tidak dibatasi secara ekslusif orang-orang Islam untuk menjadi Kepala Negara di dalam konstitusi mereka.

Sulit membayangkan Amerika Serikat, Kanada, atau negara-negara Eropa dipimpin seorang muslim.

Meskipun di sana pernah ada orang Islam menjabat jabatan setingkat Menteri, sebagaimana halnya di negara-negara muslim, ada sejumlah jabatan setingkat Menteri dipercayakan kepada orang-orang non-Islam, seperti halnya Indonesia.

Implikasinya jika negara muslim dipimpin Kepala Negara non-muslim ialah persoalan Fikih.

Misalnya, jika ada seorang perempuan muslimah mau kawin tetapi tidak memiliki wali nasab, maka harus diganti dengan wali hakim, dalam hal ini Waliyyul Amr atau Kepala Negara yang kemudian diwakilkan kepada pejabatnya di level tertentu.

Persyaratan seorang wali harus beragama Islam. Jika Kepala Negaranya non-muslim maka sudah barang tentu menimbulkan persoalan fiqhiyyah, karena seorang non-muslim tidak boleh menjadi wali dan saksi.

Masih banyak lagi problem teknis dan psikologis yang bisa muncul jika non-muslim menjadi Kepala Negara di negara muslim.

Atas dasar itu, para ulama menilai lebih banyak mudharatnya daripada mashlahatnya. Jika demikian adanya maka secara Fikih dianggap sebagai sesuatu yang terlarang.

Topik Menarik