Kaleidoskop 2025: Gagal ke Piala Dunia 2026, Timnas Indonesia Terbangun dari Lucid Dream
AIR mata Thom Haye tak bisa dibendung usai Timnas Indonesia gagal lolos ke Piala Dunia 2026. Emosinya tumpah di lapangan Stadion King Abdullah Sports City, Jeddah, Arab Saudi.
Kepedihan tidak hanya dirasakan Haye seorang. Jutaan pasang mata yang menyaksikan via layar kaca dari ribuan kilometer jauhnya, turut bersedih. Impian ke panggung tertinggi musnah.
Siapa sangka, mimpi yang sudah begitu dekat, ternyata lagi-lagi kandas. Bak lucid dream, kita semua sadar tengah bermimpi dan mengontrol apa yang ada di dalam mimpi, tapi sekali lagi, itu semua lenyap.
1. Pertanda Buruk
Januari 2025 kerap dibilang sebagai pertanda buruk. Tepat setelah pergantian kalender, PSSI mengambil sebuah langkah yang dinilai awal petaka: memecat pelatih Shin Tae-yong.
Alasan PSSI? Pria berkewarganegaraan Korea Selatan itu tidak mampu mengontrol ruang ganti. Friksi internal. Pecah kongsi antara pemain dengan pelatih. Dalih-dalih yang sebetulnya cukup justified.
Tongkat kepelatihan lalu berganti ke Patrick Kluivert di tengah Putaran 3 Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia. Belum juga melatih, label macam-macam sudah disematkan kepada sosok asal Belanda ini beserta tim kepelatihannya.
Suporter terbelah, ada yang memandang dengan pesimistis, tapi tidak sedikit yang optimistis. Nama besar Patrick Kluivert, legenda Timnas Belanda, dianggap bisa mengontrol ruang ganti. Bikin pemain segan. Abang-abangan.
Tapi, cap paling memastikan justru diberikan oleh internal PSSI sendiri. Ada yang menyebut Kluivert dan stafnya adalah tim kepelatihan terbaik yang pernah dipunya. Bad premonition.
Bumerang langsung berbalik ke arah PSSI di laga debut Kluivert dan tim. Timnas Australia mempermalukan Timnas Indonesia 5-1 di Sydney, pada Maret 2025.
Suara-suara sumbang langsung terdengar keras. Menghujamkan batu ke arah Kluivert dan timnya. Betapa tidak, Skuad Garuda hanya berjarak 1 poin dari Australia (7 poin) sebelum matchday 7 itu.
Untungnya, Kluivert langsung memberi bukti dengan kemenangan tipis 1-0 atas Timnas Bahrain di matchday 8. Lalu, Timnas China juga dikalahkan dengan skor serupa di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, pada awal Juni 2025.
2. Perpanjang Napas
Dengan modal 12 poin, Timnas Indonesia bisa meloloskan diri ke Putaran 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia, guna memperpanjang napas. Kekalahan telak 0-6 dari Timnas Jepang di Osaka, bisa dimaklumi karena melawan tim yang disebut-sebut raja terakhir di Benua Kuning.
Firasat buruk lagi-lagi datang jelang Putaran 4. Pemilihan lokasi tuan rumah membuat penggemar Timnas Indonesia mulai berpikir yang tidak-tidak. Kebetulan, Merah Putih masuk Grup B bersama Timnas Arab Saudi dan Timnas Irak.
Pikiran negatif itu sedikit banyak tergerus. Dua tim tersebut sudah pernah ditemui sebelumnya. Fans mulai optimistis. Namun, laga yang digelar 10 Oktober 2025 dini hari WIB, itu bak sebuah fase tidur.
Baru terlelap, gol penalti Kevin Diks (11’) langsung membuat kita masuk dalam fase rapid eye movement. Detak jantung meningkat, gelombang otak jadi bervariasi, semua pikiran soal tampil di Piala Dunia langsung terlihat nyata.
Menteri Maman Lantik Pengurus IKA Trisakti 2025-2029, Serukan Alumni Berkontribusi ke Kampus
Tapi, tiga gol Arab Saudi juga langsung bikin kita tersadar. Ternyata itu lucid dream. Gol kedua Kevin Diks pun tak mampu menyelamatkan dari kekalahan. Itu seperti menancapkan paku di peti mati.
Semua kesal lantaran di babak ketiga, Indonesia tak kalah dari Arab Saudi, yakni seri 0-0 di stadion yang sama, dan menang.
3. Tidur yang Tidak Enak
Laga kedua melawan Timnas Irak pada 12 Oktober 2025 dini hari WIB, cuma seperti formalitas. Menang belum tentu lolos, apalagi seri dan kalah. Semua sudah bersikap realistis dan hanya mencoba menghibur diri, kali-kali menang. Kali-kali keajaiban itu ada.
Ternyata tidak. Timnas Indonesia kalah 0-1 dari Irak. Skor yang sebetulnya peningkatan setelah di tiga pertemuan sebelumnya, kalah 1-5, 0-2, dan 1-3. Kalah, tapi enggak telak-telak amat dan bisa memberi perlawanan.
Adegan berikutnya sudah seperti disinggung di awal. Thom Haye menangis tersedu-sedu. Dia teringat, ini adalah satu-satunya kesempatan mentas di panggung akbar Piala Dunia karena usianya sudah 30 tahun. Edisi berikutnya pada 2030, belum tentu bisa ikut.
Kegagalan memang pahit. Menyedihkan. Terbangun dari mimpi buruk lalu menghadapi kenyataan yang tidak kalah menyesakkan. Tidur yang sungguh tidak enak, bukan?
Tapi tidak apa-apa. Mimpi buruk kadang harus dilewati. Lucid dream kali ini tidak memberi stimulus yang baik buat otak. Itu kalau dianggap sebagai sebuah pukulan telak dan mentalnya tidak terbangun.
PSSI tentu harus belajar dari kenyataan pahit. Mimpi yang sudah dirajut sejak 2023, hancur begitu saja. Keputusan-keputusan strategis tak boleh diambil hanya berdasarkan emosi atau pertimbangan sesaat.
Semua harus dipikirkan masak-masak, termasuk bagaimana membangun sebuah ekosistem sepakbola yang mendukung mimpi besar. Kualifikasi Piala Dunia 2030 baru akan digelar paling cepat 2027. Masih ada waktu berbenah, termasuk memilih pelatih baru.










