Tambang Nikel Raja Ampat Dalam Sorotan Ekomedia: Kepentingan Ekonomi vs Krisis Ekologi

Tambang Nikel Raja Ampat Dalam Sorotan Ekomedia: Kepentingan Ekonomi vs Krisis Ekologi

Berita Utama | inews | Kamis, 19 Juni 2025 - 05:15
share

Kastolani

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta

KAWASAN Raja Ampat, Papua Barat Daya yang dijuluki Surga Terakhir kini tercemar limbah imbas eksploitasi tambang nikel. Hal itu menjadi ancaman serius bagi kelangsungan keanekaragaman hayati dan masyarakat lokal. 

Wilayah dengan keanekaragaman hayati yang diakui UNESCO Global Geopark itu kondisinya kini terjerat di antara  harapan keuntungan cepat dan tanggung jawab melindungi ekosistem untuk generasi mendatang. Aktivitas penambangan nikel di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran pun menuai sorotan luas masyarakat dunia, tak terkecuali bagi kelompok lingkungan hidup. 

Auriga Nusantara dalam laporannya dikutip oleh AP News, dalam lima tahun terakhir wilayah tambang nikel di Raja Ampat sudah mencapai lebih dari 22.400 hektare izin tambang dan memakan 494 hektare terhitung sejak 2020-2024. Aktivitas penambangan tersebut di antaranya penggundulan lahan, pengerukan tanah, serta limpasan sedimentasi yang mengancam keberadaan terumbu karang dan ekosistem hayati laut.

Studi dari BUNUS Character Building (Unesa,2024), mencatat sedimentasi dari penambangan nikel berimbas terjadinya penumpukan lumpur yang menyelimuti karang, mengurangi fotosintesis, serta mengacaukan habitat laut seperti ikan, kura-kura sisik, dan pari manta. Greenpeace juga mendokumentasikan kerusakan akibat ekspolitasi tambang di tiga pulau termasuk hilangnya 500 hektare hutan dan vegetasi alami.

Lokasi tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. (Foto: Dok. Greenpeace)

Pencemaran Lingkungan yang Mengkhawatirkan

Raja Ampat merupakan rumah bagi hampir semua jenis terumbu karang dunia yang mencapai 75 persen dan lebih dari 1.600 spesies ikan, menurut AP Sains menunjukkan sedimentasi dari tambang dapat memicu kematian massa pada karang, mendegredasi kualitas air serta mengacaukan rantai makanan laut.

Operasi PT Gag Nikel di Pulau Gag, yang sudah berjalan sejak 1998, meninggalkan jejak kerusakan alam yang sulit dibayangkan. Limbah tailing mengandung nikel, kromium, dan logam berat lain dialirkan ke pantai, lalu perlahan mencemari terumbu karang dan ikan tangkapan. Penelitian Male dan Rehatta (2023) mencatat bahwa bangkai ekosistem karang di pulau tropis semacam ini kehilangan kemampuan pulih setelah tercemar. Sementara itu, warga Manuran melaporkan air laut berwarna cokelat saat pasang-surut, tanda sedimentasi parah yang mengancam kehidupan sehari-hari mereka (Santoso & Wija, 2023).

Selain mencemari air, pembukaan lahan untuk tambang juga menggunduli hutan dalam skala besar. Sekitar 500 hektare hutan di Raja Ampat hilang, dan 260 hektare di Pulau Gag saja sudah rata (Pratama & Sari, 2022). Di pepohonan itulah hidup spesies endemik yang kini berdiri di ambang kepunahan. Sedimentasi dari erosi tanah yang meluncur ke laut juga mengganggu ekosistem pesisir, menghalangi sinar matahari penting bagi terumbu karang dan memengaruhi jalur migrasi satwa seperti pari manta di seputar Wayag (Nugroho & Hartono, 2023).

Konflik dan Kehilangan Mata Pencaharian

Penambangan nikel tak hanya merusak alam, tetapi juga menyalakan api perpecahan di masyarakat Raja Ampat. Maria, seorang ibu rumah tangga dari Kampung Sawinggrai, mengeluhkan bahwa tambang sudah memecah belah komunitas. Ada yang tergoda upah besar dari perusahaan, tetapi laut adalah hidup kami. Tanpa laut, kami tidak punya masa depan, ujarnya dalam wawancara Mei 2025. Pertikaian ini semakin parah ketika ancaman terhadap mata pencaharian perikanan dan pariwisata kian nyata (Wulandari, 2025).

Di kubu pro penambangan, seperti dilakukan masyarakat adat Suku Kawei. Mereka melakukan aksi protes menyusul pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan nikel oleh pemerintah, termasuk PT Kawei Sejahtera Mining. Aksi protes dilakukan dengan memblokade total akses masuk ke Pulau Wayag, destinasi wisata ikonik berskala internasional. 

Imbas pemblokadean tersebut seluruh kegiatan pariwisata di kawasan tersebut lumpuh total. Sejumlah kapal wisata yang membawa turis asing dilaporkan diusir dari wilayah tersebut oleh warga adat yang mengklaim sebagai pemilik hak ulayat Pulau Wayag.

"Kalau perusahaan tambang tidak dibuka, maka Wayag tetap kami tutup," ujar salah satu perwakilan masyarakat dalam rekaman yang beredar di media sosial. Pernyataan ini disambut seruan “setuju” oleh massa yang hadir dalam aksi tersebut. (iNews.id, 2025).

Aktivitas wisata di Raja Ampat lumpuh akibat aksi pemblokadean oleh masyarakat adat. (Foto: iNews)

Menanggapi memanasnya situasi, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat mengeluarkan larangan sementara bagi wisatawan untuk berkunjung ke Pulau Wayag, Distrik Waisai Utara. Langkah ini dilakukan demi menjaga keamanan dan membuka ruang dialog.

Dia juga menegaskan akan turun langsung ke lapangan untuk menemui warga Suku Kawei. Pemerintah daerah berharap masyarakat tidak menjadikan sektor pariwisata sebagai sasaran protes karena bisa berdampak negatif terhadap ekonomi lokal yang sangat bergantung pada kunjungan wisata.

Penolakan Tambang Terus Bergulir

Di pihak lain, suara penolakan terhadap praktik pertambangan nikel di Raja Ampat terus menggema dari berbagai pihak, termasuk organisasi lingkungan nasional dan internasional.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menjadi salah satu pihak yang paling vokal. Mereka mengibaratkan eksploitasi tambang di Raja Ampat seperti “menjual ginjal untuk membeli ponsel”.

Di tengah pencabutan izin empat perusahaan, satu perusahaan tambang yakni PT Gaknikel, anak usaha PT Aneka Tambang (Antam), masih diizinkan beroperasi. Wakil Menteri ESDM, Yulio Tanjung menjelaskan, operasional PT Gaknikel sempat dihentikan sementara untuk proses evaluasi. Namun, hasil investigasi menunjukkan perusahaan tersebut tidak terbukti melanggar prosedur pertambangan, sehingga izinnya tidak dicabut.

Pemblokadean masih berlangsung dan belum ada kepastian kapan Pulau Wayag akan kembali dibuka. Situasi ini memunculkan dilema besar antara kepentingan lingkungan, hak masyarakat adat, dan keberlanjutan ekonomi berbasis pariwisata.

Pariwisata di Raja Ampat diketahui menyumbang lebih dari 40 persen pendapatan daerah, bernilai Rp150 miliar setiap tahun (Lestari & Indrawan, 2024). Namun limbah tambang yang mencemari laut serius mengancam sektor penarik turis itu. Nelayan lokal sudah melaporkan hasil tangkapan merosot, sementara operator wisata khawatir wisatawan akan menurun karena kerusakan terumbu karang. Perjuangan masyarakat adat, yang didukung oleh organisasi seperti WALHI, semakin vokal melalui aksi protes dan kampanye daring seperti #SaveRajaAmpat (Rahayu & Mulyono, 2023).

Tambang nikel yang beroperasi di Raja Ampat, Papua Barat Daya. (Foto: Greenpeace)

Dalam tinjauan agama, manusia dituntut untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan sebagai upaya dan wujud syukur atas karunia Allah SWT yang telah menciptakan alam semesta dan seisinya untuk kemakmuran dan kesejahteraan manusia. Di sisi lain, tidak sedikit manusia yang justru merusak alam dan mengeksploitasinya demi kekayaan pribadi dan kelompoknya.

Eksploitasi alam semestinya dipakai untuk kesejahteraan bersama. Tak heran jika kini marak pemerkosaan terhadap alam dan lingkungan. Dalam Al Quran, Allah SWT berfirman.

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Rum: 41). 

Majelis Ulama Indonesia (MUI), memiliki perhatian tinggi terhadap pelestarian lingkungan yang diwujudkan dengan dibentuknya  Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH SDA MUI). Fatwa-fatwa MUI juga telah dikeluarkan secara khusus tengan pelestarian lingkungan. Di antaranya Fatwa No 04 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem, Fatwa No 47 tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan, Fatwa No 22  tahun 2011  tentang Pertambangan Ramah Lingkungan, dan Fatwa No 1  Munas 2015  tentang Pendayagunaan Ziswaf untuk Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Masyarakat.

Manusia yang diciptakan oleh Alah SWT yang diberi mandat sebagai khalifah atau pemimpin di bumi, semestinya harus lebih peduli kepada lingkungan. (Agus Hermanto, 2023). Manusia dan alam sudah semestinya saling berintegrasi. Sebab, manusia tidak bisa hidup tanpa alam dan alam tidak akan hidup tanpa manusia. Begitu juga manusia akan senantiasa dibutuhkan oleh alam dan sumber alam, karena memang Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah untuk menjaga, merawat dan melindungi alam semesta.

Pertarungan antara Tambang dan Ekowisata

Raja Ampat menyimpan peluang ekonomi besar lewat ekowisata, menarik ribuan pelancong setiap tahun yang datang demi birunya lautnya. Lestari dan Indrawan (2024) menunjukkan ekowisata jauh lebih berkelanjutan ketimbang model tambang. Namun, tambang nikel menawarkan laba kilat meski harga yang dibayar lingkungan sangat berat. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengakui biaya reklamasi seluas-setan, tapi efektivitasnya diragukan karena transparansi yang tipis (Arifin & Lubis, 2023). PT Gag Nikel mengklaim sudah memulihkan sebagian lahan, tetapi audit independen mencatat hasilnya minim.

Peran Media dalam Menggugah Kesadaran

Di banyak pemberitaan media arus utama, aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat acap kali dikemas dalam konteks hilirisasi nasional, strategi transisi energi, dan peluang investasi. Media-media arus utama kerap menampilkan pernyataan dari pejabat pemerintah pusat atau perwakilan industri, dan kurang memberi ruang kepada masyarakat adat yang terdampak langsung pertambangan.

Hal ini menjadi sorotan dalam pendekatan ekomedia, yakni cara media membingkai krisis lingkungan dan siapa yang diberi suara dalam pemberitaan. Menurut analisis WALHI, media arus utama kurang mengangkat dimensi ekologis dan budaya dalam konflik tambang di Raja Ampat. Padahal, kawasan tersebut merupakan bagian dari wilayah adat dan berstatus konservasi global.

Ironisnya, aktivitas tambang tersebut disahihkan banyak pihak dengan dalih transisi energi global. Nikel dibutuhkan untuk baterai kendaraan listrik. Lantas muncul pertanyaan, demi masa depan hijau haruskah mengorbankan wilayah konservasi termasuk Raja Ampat?

Di banyak laporan investigasi lingkungan diungkapkan eksploitasi nikel tanpa pengawasan ketat dapat memicu deforestasi, sedimentasi laut, pencemaran air, hingga konflik sosial dampak tersebut khususnya di Raja Ampat bisa bersifat irreversible.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia diminta untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tambang nikel di Raja Ampat. (Foto: iNews/Instagram)

Pendekatan ekomedia menantang kita untuk melihat ulang fungsi media, apakah media benar-benar penjaga kepentingan publik dan lingkungan, atau hanya memperkuat narasi ekonomi sekelompok elite? Publik bisa menerima visualisasi yang pincang ketika suara masyarakat yang terdampak pertambangan terpinggirkan. Sementara pejabat dan investor diberi ruang bebas berargumen.

Pendekatan ekomedia menunjukkan betapa media mampu mengubah cara publik memandang isu-isu lingkungan. Kampanye #SaveRajaAmpat yang sudah disaksikan lebih dari 18 juta orang membuktikan kekuatan platform digital dalam mempertahankan kepentingan alam. Aktivis lokal seperti Maria memanfaatkan Instagram dan TikTok untuk bercerita tentang dampak tambang, sementara media arus utama kesulitan menghadirkan berita yang seimbang. Narasi pemerintah yang menyatakan operasi tambang aman sering berlawanan dengan bukti di lapangan, menciptakan jurang kepercayaan di masyarakat. Hal ini menunjukkan pentingnya jurnalisme independen (Susanti & Kurniawan, 2025).

Bagi media sebagai corong masyarakat, langkah pertama yang dilakukan adalah terus memberikan peran utama dalam membentuk opini publik. Namun dalam kasus Raja Ampat yang didominasi oleh korporasi, media seringkali menekan atau membedakan narasi ekonomi pemerintah ketimbang masyarakat adat atau LSM lingkungan. Cox, yang diacu dalam ekomedia oleh Ramnam, menyampaikan bahwa dimensi naratif dalam media ekomedia. Media adalah salah satu cara terpenting untuk menghayati pengalaman dan praktik yang dapat membantu membimbing atau membentuk individu secara bersamaan. 

Persoalan ekologi, menurut Otto Sumarwoto (Sendajaj,1993) adalah mengenai hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan di sekitarnya. Dengan demikian, pandangan ekologi media berkenaan dengan hubungan timbal balik antara media (massa) dengan lingkungan penunjang kehidupannya. Sumber penunjang kehidupan media menurun Dimmick (1982) dan Rothenbuhler (1984) adalah type of capital, type of contents, dan type of audience.

Dalam konsep teori Ekologi media, khalayak dapat memperoleh kemampuan aktif dan tidak terpisahkan dengan media. Lance strate menurut Rocard West dan Lynn H Turner (2008), mendefinisikan ekologi media sebagai kajian mengenai lingkungan media, ide bahwa teknologi dan Teknik, model penyampaian informasi dan kode komunikasi memainkan peran utama dalam kehidupan manusia. Ekologi media melihat bagaimana media komunikasi memengaruhi persepsi manusia, pemahaman, perasaan dan nilai serta bagaimana interaksi kita dengan media dan peluang media bertahan hidup. 

Ekologi kata yang menyiratkan studi lingkungan (El harry, 2012). Struktur, isi, dan dampak pada orang-orang. Lingkungan adalah sebuah sistem pesan yang kompleks yang membebankan pada manusia cara-cara berpikir tertentu, merasa dan berperilaku.

Melindungi Raja Ampat memerlukan langkah nyata: moratorium penambangan, yakni menghentikan semua aktivitas ekstraksi sesuai regulasi yang berlaku; investasi ekowisata, di mana pemerintah dan pelaku swasta mendorong pariwisata berkelanjutan dengan melibatkan penduduk setempat; penelitian lingkungan, berupa studi independen mengenai dampak limbah tambang terhadap ekosistem laut, sehingga kebijakan bisa berbasis bukti (Putra & Wahyuni, 2024); serta peningkatan peran media, agar media terus menyiarkan narasi perlindungan lingkungan dan memberi ruang bagi suara masyarakat adat.

Penambangan nikel di Raja Ampat merusak ekosistem laut, mencelakai masyarakat lokal, dan menghancurkan ekonomi pariwisata dari ekowisata. Dalam pendekatan ekomedia, media adalah alat yang kuat untuk mengubah perilaku publik dan memaksa kebijakan yang tidak berkelanjutan. Banyak yang masih bisa dipegang di Raja Ampat ”Permata Laut Papua”, tetapi hal itu akan berlalu dengan cepat jika tindakan tidak diambil sekarang untuk mengampuni dan melayani alam dan manusia. (*)

Topik Menarik