Disiplin atau Dikendalikan? Satu Sisi Proyek ke Barak-nya Kang Dedi Mulyadi
Taufiq Fredrik PasiakIlmuwan Otak, Dekan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta
SEJAK Mei 2025, ratusan siswa SMP dan SMA di Jawa Barat “dikeluarkan” dari sekolah formal dan dipindahkan ke barak militer. Mereka dijemput langsung dari rumah oleh personel TNI, lalu dikirim ke dua lokasi utama: Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi di Lembang dan Resimen Armed 1 Kostrad di Purwakarta.
Mereka menjalani program penuh selama enam bulan, tanpa kembali ke bangku sekolah.
Nama resminya: Pendidikan Karakter, Disiplin, dan Bela Negara Kekhususan. Sasarannya adalah anak-anak yang dianggap “bermasalah”: pernah tawuran, bolos, atau dicap sulit dibina. Materinya tampak ringan, baris-berbaris, konseling, penyuluhan, pelatihan fisik, dan outbound. Tenaga pengajarnya terdiri dari TNI, Polri, Dinas Pendidikan, hingga Lembaga Perlindungan Anak.
Belajar di kelas diganti dengan latihan komando. Interaksi guru-siswa digantikan instruksi vertikal . Semua berlangsung dalam sistem tertutup, diawasi, dan dikendalikan oleh struktur militer. Terlihat tegas, tampak solutif.
Saya percaya disiplin akan terbentuk. Namun, ada sesuatu yang lebih besar sedang dibentuk dan dipertaruhkan; kepatuhan!. Bisa jadi, semacam kepatuhan mutlak yang menyelinap dalam alam bawah sadar.
Saya juga percaya, program ini lahir dari niat baik dari KDM (Kang Dedi Mulyadi) menyelamatkan anak-anak dari arah hidup yang keliru. Mungkin juga masa depan yang suram. Namun dalam dunia pendidikan, niat saja tidak pernah cukup. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana sebuah intervensi membentuk cara berpikir anak, bukan sekadar mengatur perilaku luarnya.
Dalam studi-studi neurosains, perilaku yang berubah karena tekanan eksternal tanpa disertai kesadaran internal, cenderung rapuh dan tidak berkelanjutan.
Otak remaja, khususnya bagian prefrontal cortex yang mengatur fungsi eksekutif seperti pengambilan keputusan, regulasi emosi, dan penilaian moral, hanya berkembang optimal ketika individu diberi ruang untuk memilih, mempertimbangkan, dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri.
Usia para peserta program barak ini umumnya berada di rentang 13 hingga 17 tahun (secara umum di bawah 20 tahun), masa yang secara biologis disebut sebagai periode krusial perkembangan fungsi eksekutif.
Mengutip Ferguson, Brunsdon & Bradford (2021), empat komponen utama fungsi eksekutif, yakni kontrol inhibisi, memori kerja, fleksibilitas kognitif, dan kemampuan merencanakan, masih terus berkembang secara signifikan hingga usia awal 20-an. Misalnya, kemampuan perencanaan dan memori kerja meningkat pesat antara usia 10 hingga 18 tahun, lalu mencapai puncaknya sekitar usia 25–30 tahun sebelum perlahan menurun.
Sementara fleksibilitas kognitif dan kontrol inhibisi baru stabil mendekati usia 20 tahun Dengan kata lain, barak militer sedang menjadi latar bagi intervensi intensif di saat otak anak belum selesai membentuk kendali dirinya sendiri.
Jika di masa sensitif ini otak justru diasupi model pembinaan yang menekankan perintah, hierarki, dan disiplin vertikal, maka alih-alih memperkuat fungsi eksekutif, kita justru berisiko membonsainya secara permanen
Risikonya tidak hanya ada pada apa yang terlihat di permukaan, tapi terutama pada pola bawah sadar yang dibentuk secara sistematis. Sebab barak bukan sekadar tempat. Ia adalah sistem yang membentuk sense of self melalui pengulangan, bukan pemahaman.
Dalam konteks ilmu perilaku, pengalaman di lingkungan barak berpotensi menghasilkan conditioning jangka panjang, di mana otak remaja belajar mengaitkan keselamatan, penerimaan, dan penghargaan dengan satu hal: ketaatan mutlak terhadap otoritas.
Di tengah struktur yang menolak negosiasi dan menggantinya dengan komando, pembentukan fungsi eksekutif tak lagi berbasis nilai, refleksi, atau tanggung jawab personal, melainkan diarahkan oleh stimulus-respons yang kaku.
Anak tidak diajak menyusun alasan, tetapi dibiasakan merespons cepat tanpa berpikir. Model ini yang disebut para ahli sebagai externalized control mechanism, sistem kendali diri yang berasal dari luar, bukan dari dalam.
Dan bila ini diterapkan secara konsisten selama enam bulan pada otak yang sedang berkembang, maka barak tak hanya mendisiplinkan perilaku, tapi juga memformat ulang arsitektur kognitif anak-anak itu. Memudahkan proses pengendalian dari luar.
Seandainya tidak dicermati secara serius dan dikawal dengan pendekatan ilmiah yang tepat, program pendidikan barak militer yang tampak solutif ini justru berisiko menjadi alat rekayasa kognitif berskala besar, bukan untuk memperkuat nilai atau mendorong kemandirian berpikir, melainkan untuk menormalisasi pola kepatuhan tanpa proses berpikir kritis.
Dalam konteks perkembangan otak, masa remaja adalah fase krusial di mana otak, khususnya fungsi eksekutif di prefrontal cortex masih aktif membangun kemampuan menimbang, memilih, dan mengambil keputusan secara mandiri.
Jika pada masa ini anak justru ditanamkan kebiasaan berpikir tunggal, responsif terhadap instruksi, dan tidak terbiasa memproses informasi secara reflektif, maka kita tidak sedang membentuk karakter, kita sedang mematikan nalar otonom secara sistematis.
Dalam jangka panjang, pola ini tidak hanya melemahkan kapasitas personal, tapi juga membentuk komunitas sosial yang rentan terhadap manipulasi, mobilisasi, dan pembungkaman.
Fenomena di atas menjadi nyata ketika kita menyaksikan anak-anak yang semula bermasalah secara perilaku, berubah menjadi “tertib” tetapi kehilangan daya kritis.
Mereka mungkin lebih rapi dan disiplin, tapi pada saat yang sama, lebih mudah diatur dan enggan bertanya. Dalam kerangka sosial, ini menciptakan generasi dengan kecenderungan obedience without reflection-taat tanpa berpikir.
Dalam tataran etis, ini menggugurkan prinsip mendasar pendidikan: bahwa tujuan akhir pendidikan adalah kebebasan batin dan tanggung jawab moral.
Sedangkan dalam konteks politik, potensi bahayanya lebih dalam: kita sedang menyiapkan warga negara yang siap disusun, digerakkan, dan dibentuk oleh otoritas, tanpa daya untuk menimbang kebenaran secara independen.
Di tengah dunia yang semakin kompleks, berisiko, dan penuh manipulasi informasi, generasi seperti itu bukan hanya rapuh, mereka rentan digunakan.
Selama 6 bulan, anak-anak ditempatkan dalam sistem yang secara perlahan membentuk cara berpikir mereka bukan melalui dialog terbuka, melainkan melalui pengulangan, aturan, dan pengawasan ketat.
Pola ini bekerja dalam alam bawah sadar: mencetak kebiasaan untuk mencari arah, bukan membangun arah sendiri.
Dalam jangka panjang, hal ini melahirkan individu yang mudah diarahkan, siap digerakkan, dan sulit mengembangkan penilaian mandiri saat berhadapan dengan tekanan sosial atau otoritas simbolik.
Inilah yang membuat mereka rentan digunakan untuk kepentingan politik, ideologis, bahkan komersial. Bukan karena mereka tak punya potensi, tapi karena sejak dini telah dibiasakan untuk menjalani, bukan mempertanyakan.
Celah seperti ini, dalam sejarah kekuasaan, selalu menjadi peluang bagi mereka yang tahu cara memanfaatkannya.
Karena itu, jika program ini ingin sungguh menjadi jalan keluar, maka pendekatannya harus diubah: bukan dengan membentuk kepatuhan total, tapi dengan menumbuhkan kendali diri yang sadar.
Fungsi eksekutif anak sebagai pusat dari pengambilan keputusan, kontrol emosi, dan tanggung jawab moral hanya bisa tumbuh melalui pengalaman yang memberi ruang memilih, bukan sekadar menjalankan.
Pendidikan karakter di lingkungan barak bisa tetap dijalankan, tapi dengan penekanan pada dialog internal: ajak anak merefleksikan tindakannya, beri kesempatan menyusun tujuan, dan libatkan mereka dalam keputusan kecil sehari-hari. Struktur boleh tegas, tapi jangan menutup ruang berpikir.
Yang dibutuhkan bukan sekadar baris-berbaris atau kegiatan fisik, melainkan latihan mempertimbangkan agar anak-anak ini tak hanya tahu disiplin, tapi juga paham mengapa ia penting.
Kalau ini terjadi, maka sejatinya pendidikan menemukan maknanya, bukan sebagai alat penertiban massal, tapi sebagai ruang bertumbuhnya manusia utuh.
