Menjaga Institusi TNI dari Intervensi Politik

Menjaga Institusi TNI dari Intervensi Politik

Berita Utama | sindonews | Selasa, 13 Mei 2025 - 06:21
share

Abdul Haris FatgehiponGuru Besar Fakultas Rumpun Ilmu Pertahanan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNJ

DI banyak negara berkembang termasuk Indonesia, institusi tentara sering mengalami intervensi dari partai politik dan pemerintah, Subjective Civilian Control. Keadaan ini terjadi karena politisi dan pemerintah ingin memiliki pengaruh dalam institusi militer. Perwira tentara juga membuka peluang terjadi intervensi dari pihak pemerintah dan politisi. Perwira tentara saling bersaing untuk memperebutkan dukungan dari partai dan pemerintah untuk mendapatkan jabatan dan kepangkatan.

Di era Presiden Soekarno pernah terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952, tentara mengarahkan senjata meriam di depan Istana, karena perwira tentara menilai DPRS banyak mencampuri urusan internal tentara. Meski tentara tidak senang parlemen mencampuri urusan tentara, tetapi para perwira tentara berusaha untuk memiliki kedekatan dengan Presiden Soekarno, sebagaimana yang dilakukan oleh AH Nasution dan Ahmad Yani.

AH Nasution yang telah diberhentikan dari jabatan KASAD setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, kembali dilantik menjadi KASAD oleh Presiden Soekarno, setelah mendukung gagasan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan kembali ke UUD 1945. Setelah Dekrit Presiden, Presiden tidak hanya sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai kepala pemerintahan. Ini menjadi momen lahirnya demokrasi terpimpin. Soekarno dan AH Nasution saling membutuhkan, meski berbeda tujuan.

Presiden Soekarno berusaha memposisikan para perwira kepercayaannya kepada jabatan penting dalam organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di waktu yang sama PKI berusaha juga untuk menempatkan para perwira binaannya pada posisi strategis. Lahirnya konsep Nasakom, membuat PKI memiliki kesempatan dan peluang untuk merangkul para prajurit TNI sebagai kader binaan

Di era demokrasi terpimpin, sulit kita membedakan mana tentara loyalis Soekarno, mana tentara kader binaan PKI. Untuk menjaga intervensi parpol dan pemerintah dalam promosi jabatan dan kepangkatan, TNI membentuk Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tertinggi). Para perwira tinggi yang akan menduduki berbagai jabatan penting disidangkan dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Di saat situasi genting saat peristiswa G30 S PKI, Soekarno menunjuk Asisten III Bidang Personalia KASAD Pranoto Reksosamodra sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat. Pengangkatan tidak disenangi oleh Soeharto. Pranoto Reksosamodra yang merupakan kader Muhammadiyah, dituduh terlibat dalam Peristiwa G30S/PKI. Jabatan Menteri Panglima Angkatan Darat kemudian digantikan oleh Soeharto.

Di Era Presiden Prabowo, publik dikejutkan dengan pemberhentian secara mendadak Letjen Kunto Arief Wibowo dari jabatan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I melalui SK Panglima TNI Nomor KEP 554/IV/2025, tertanggal 29 April 2025. Pangkobwilhan adalah jabatan yang sangat strategis dalam menjaga pertahanan wilayah di tengah makin memanasnya situasi keamanan di kawasan Indo Pasific. Pemberhentian Kunto Arief dan digantikan oleh Laksamana Muda Hersan, mantan Ajudan Presiden Jokowi, mendapatkan perhatian publik mengingat Kunto Arief di era Presiden Jokowi pernah diberhentikan dari jabatan Pangdam Siliwangi. Pemberhentian Letnan Jenderal Kunto Arief kali kedua dikaitkan dengan petisi purnawirawan yang meminta pemberhentian Gibran Rakabuming Raka dari jabatan wakil presiden (wapres). Petisi purnawirawaan ini ikut ditandatangani oleh mantan Panglima TNI Try Sutrisno yang merupakan ayah dari Kunto Arief.

Selang sehari, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto membatalkan SK pemberhentian Kunto Arief. Insiden ini menjadi sejarah baru bagi TNI. Sebelumnya organisasi TNI tidak pernah ada Keputusan Panglima TNI yang berubah-ubah dalam hitungan jam. Publik mencurigai pergantian jabatan Pangkogabwilhan I karena tekanan politik dari tangan yang tidak kelihatan (invisible hand), sebagai imbas dari dukungan Jenderal Try Sutrisno terhadap petisi para purnawirawan.

Keputusan Panglima TNI yang melakukan mutasi secara gegabah, tidak melewati persidangan Wanjakti yang biasanya meminta persetujuan Presiden, menunjukkan promosi jabatan TNI tidak lagi didasari oleh asas meritokrasi. Kondisi ini dapat memunculkan konflik dalam internal organisasi TNI.

Asas meritokrasi dalam tubuh TNI dipertanyakan publik, mengingat banyak perwira tinggi yang menempati berbagai jabatan penting di era sebelum Presiden Jokowi, merupakan perwira yang berprestasi semasa menjadi taruna, meraih Adhi Makayasa atau memiliki prestasi dalam penugasan dan jenjang karier yang cemerlang. Publik melihat pada era Presiden Jokowi berbagai jabatan penting di dalam tubuh TNI maupun Polri ditempati para perwira yang memiliki kedekatan masa lalu dengan Jokowi, atau yang dikenal dengan istilah 'Geng Solo'.

Ke depan kita harapkan Panglima TNI harus menjaga institusi TNI dari berbagai intervensi dan kepentingan politik dari kekuatan kekuatan di luar TNI, invisible hand. Kekuatan politik dan pemerintah semestinya juga menjaga kemandirian TNI sebagai organisasi tentara yang mandiri dan profesional. Jangan melakukan intervensi selain untuk kepentingan politik nasional dan kepentingan pertahanan negara, bukan untuk kepentingan kelompok politik. Objektif Civilian Control.

TNI adalah organisasi profesional, hendaknya melakukan promosi jabatan didasarkan oleh berbagai pertimbangan profesional, bukan atas dasar kedekatan di masa lalu atau kepentingan kelompok. Sebab, jika promosi didasarkan aspek kedekatan dengan kekuasaan, akan terjadi persaingan antara sesama perwira, bukan lagi persaingan prestasi dan kinerja, tetapi masing masing perwira berlomba bersaing mencari akses kedekatan dengan kekuasaan Istana dan partai politik (Senayan).

Promosi perwira tinggi hendaknya didasarkan kepada kebutuhan organisasi, bukan karena tekanan politik, apalagi yang dilakukan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan di luar institusi resmi negara (invisible hand).

Topik Menarik