Melacak Jaringan Global Produk Palsu China
Dalam sebuah insiden aneh bulan lalu, seorang pengunjung Kebun Binatang Shanwei di provinsi Guangdong, China, membagikan sebuah video di TikTok yang menampilkan dua hewan yang terlihat seperti panda.
Namun, setelah dilihat lebih dekat, kedua hewan itu bukanlah panda, melainkan chow chow—salah satu spesies anjing yang disukai di China utara.
Awalnya, petugas kebun binatang mencoba memperkenalkan chow chow sebagai jenis baru yang dijuluki “anjing panda”. Ketika skeptisisme muncul di antara para pengunjung, pihak berwenang terpaksa mengakui bahwa tidak ada panda sungguhan yang tinggal di kebun binatang tersebut.
Dipandang sebagai tindakan yang kurang etis, Kebun Binatang Shanwei mengecat anjing-anjing tersebut dengan warna hitam dan putih agar menyerupai panda untuk diperlihatkan di depan umum.
Insiden ini bukanlah insiden terisolasi; kasus serupa terjadi Mei lalu, di Kebun Binatang Taizhou di Provinsi Jiangsu, meski tidak begitu menarik perhatian kala itu. Namun, episode terbaru di Shanwei telah menarik perhatian global.
Keanehan di Kebun Binatang Shanwei merupakan gambaran dari sebuah masalah mengkhawatirkan dari negara tersebut, yakni pemalsuan.
Selama ini, China melabeli dirinya sebagai kekuatan dominan di sektor manufaktur global, yang terkenal karena kemampuannya memproduksi barang dengan harga kompetitif. Namun, China juga terkenal karena perannya dalam pembuatan dan pendistribusian produk palsu.
Masalah yang meluas ini terkait erat dengan ekonomi global dan membawa konsekuensi signifikan bagi konsumen, bisnis, dan pemerintah.
Mengutip dari Mekong News, Rabu (6/11/2024), skala industri pemalsuan China sangat mengejutkan—dengan perkiraan yang menunjukkan bahwa negara tersebut bertanggung jawab atas lebih dari 80 persen barang palsu di dunia.
Barang-barang palsu ini mencakup berbagai macam produk, mulai dari tas tangan dan jam tangan mewah hingga kebutuhan sehari-hari seperti elektronik, farmasi, dan bahkan makanan.
Laporan tahun 2020 dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyoroti bahwa barang palsu dari China mewakili sekitar 3,3 persen dari perdagangan global, dengan nilai tahunan melebihi USD500 miliar.
Industri Farmasi dan Barang Mewah
Infrastruktur manufaktur China yang kuat telah secara signifikan mengintensifkan masalah barang palsu, yang memungkinkan penipu untuk memproduksi barang tiruan berkualitas tinggi dengan relatif mudah.
Rantai pasokan negara yang luas dan penegakan peraturan hak kekayaan intelektual yang sengaja tidak terlalu ketat menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas terlarang tersebut.
Barang palsu tidak hanya marak di China, tetapi juga mudah diakses melalui marketplace seperti Alibaba dan Taobao.
Salah satu sektor paling mengkhawatirkan yang terdampak krisis barang palsu ini adalah industri farmasi. Obat palsu, yang sering kali mengandung dosis yang salah atau zat berbahaya, menimbulkan risiko kesehatan yang serius bagi konsumen.
Di banyak negara berkembang dan berpendapatan rendah, kerangka regulasi yang tidak memadai memungkinkan obat palsu menyebar tanpa terkendali.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melaporkan bahwa lebih dari 10 persen produk medis di wilayah ini tidak berstandar atau palsu, dengan China memainkan peran penting dalam tren yang meresahkan ini.
Munculnya vaksin palsu China selama pandemi Covid-19 semakin menyoroti bahaya terkait obat palsu. Selain obat, sektor teknologi juga dibanjiri produk palsu, termasuk smarphone, laptop, dan aksesori.
Barang tiruan ini tidak hanya gagal memenuhi standar keamanan dan kualitas, tetapi juga berkontribusi pada masalah pencurian kekayaan intelektual yang terus berlanjut.
Pasar barang mewah juga terpengaruh, dengan merek-merek terkenal seperti Louis Vuitton, Gucci, dan Rolex terus berjuang melawan barang palsu yang merusak integritas merek mereka dan mengikis kepercayaan konsumen. Lonjakan e-commerce semakin mempercepat penyebaran barang palsu China.
Platform daring seperti Alibaba, Amazon, dan eBay telah menjadi tempat penting untuk penjualan produk palsu ini. Meski perusahaan-perusahaan itu telah mengambil berbagai langkah untuk mengatasi masalah ini, memberantas barang palsu dari penjualan daring tetap menjadi tantangan yang berat.
Uni Eropa (UE) menghadapi kerugian tahunan yang mengejutkan sebesar EUR16 miliar dan hilangnya hampir 200.000 pekerjaan, yang terutama disebabkan barang palsu di sektor pakaian, kosmetik, dan mainan.
Pengungkapan yang mengkhawatirkan ini muncul dari laporan terbaru Kantor Kekayaan Intelektual Uni Eropa (EUIPO). Sebagian besar barang palsu ini diproduksi di China.
Dugaan Keterlibatan CCP
Inti dari dilema ini adalah dugaan keterlibatan Partai Komunis China (CCP), yang dituduh secara langsung memfasilitasi atau secara tidak langsung membiarkan perdagangan barang palsu berkembang pesat melalui kelemahan regulasi dan kerja sama pemerintah daerah.
Meski secara resmi mengeklaim adanya upaya memerangi pemalsuan, CCP telah dikritik karena menutup mata terhadap aktivitas terlarang ini, yang sering kali demi keuntungan ekonomi dan politik.
Lebih jauh, ada klaim bahwa beberapa badan usaha milik negara di China terlibat dalam produksi barang palsu.
Pasar daring di China telah menjadi usaha menguntungkan, yang memberikan kontribusi signifikan terhadap ekspansi ekonomi negara, yang telah menyebabkan keraguan di antara otoritas untuk secara ketat menangani masalah pemalsuan yang merajalela.
Sebuah insiden penting pada 2023 menyoroti masalah ini, ketika sebuah skandal meletus atas penjualan barang mewah palsu di platform Taobao milik Alibaba.
Meski Alibaba berulang kali menjamin kepatuhan, temuan EUIPO menunjukkan bahwa penjualan produk palsu di Taobao terus berlanjut tanpa henti.
Banyak penjual di platform ini terdeteksi berasal dari pabrik-pabrik kecil di wilayah seperti Guangdong dan Zhejiang, yang dikenal karena keterlibatan mereka dalam bisnis pemalsuan.
Kurangnya tindakan tegas dari otoritas lokal di provinsi-provinsi ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang dedikasi mereka dalam menegakkan sikap resmi CCP terhadap pemalsuan.
Produk Palsu China di India
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah China menghadapi tekanan internasional yang meningkat untuk mengatasi industri pemalsuan yang merajalela.
Sebagai tanggapan, perubahan signifikan dilakukan, termasuk revisi Undang-Undang Merek Dagang pada 2019, yang memperberat hukuman atas pelanggaran merek dagang dalam upaya mencegah produksi barang palsu.
Namun, langkah-langkah ini terbukti tidak memadai. Korupsi dalam badan-badan pemerintah daerah sering kali melemahkan perang melawan pemalsuan, sementara skala masalah yang luas mempersulit upaya penegakan hukum, yang memungkinkan barang-barang palsu terus memenuhi pasar global.
Konsekuensi dari industri barang palsu China meluas jauh melampaui batas negaranya, berdampak signifikan pada ekonomi global, dengan India menjadi yang paling terpengaruh.
Lonjakan produk palsu dari China tidak hanya merugikan industri lokal, tetapi juga menimbulkan risiko serius bagi konsumen.
Dari barang elektronik dan farmasi hingga barang mewah dan barang sehari-hari, pasar India telah dibanjiri produk palsu selama bertahun-tahun.
Meski pemerintah India telah melakukan inisiatif dan upaya penegakan hukum, perdagangan ilegal tetap ada, sebagian besar karena sifat operasi pemalsuan China yang luas dan rantai pasokannya yang mapan.
Korupsi dalam sektor tertentu semakin memperburuk masalah, yang mengharuskan identifikasi dan hukuman bagi mereka yang terlibat.
Sebuah laporan tahun 2022 oleh Authentication Solution Providers Association (ASPA) menyoroti bahwa industri pemalsuan di India berkembang pada tingkat mengkhawatirkan sebesar 15 persen setiap tahunnya, dengan hampir 70 persen produk palsu di negara tersebut berasal dari China.
Barang-barang palsu ini tidak hanya merusak penjualan produk yang sah, tetapi juga menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan signifikan bagi konsumen India.
Meningkatkan Kesadaran Konsumen
Dalam tindakan keras signifikan terhadap barang-barang palsu, otoritas lokal Mumbai menjadi berita utama pada 2022 dengan mencegat pengiriman besar-besaran obat-obatan palsu yang diselundupkan dari China.
Barang curiannya termasuk antibiotik dan obat antiradang yang berbahaya, semuanya dicampur dengan bahan kimia beracun yang menimbulkan risiko kesehatan serius bagi konsumen.
Dalam insiden terpisah pada 2023, Kepolisian Delhi membongkar operasi pemalsuan barang elektronik skala besar di pasar Karol Bagh. Di sana, smartphone dan aksesori palsu dari merek terkenal seperti Xiaomi dan Samsung dijual, dengan barang-barang senilai ₹2 crore telah diimpor melalui jalur gelap dari China.
Selain itu, Society of Indian Automobile Manufacturers (SIAM) menyuarakan kekhawatiran pada 2023 mengenai maraknya suku cadang mobil palsu di India.
Sebuah laporan baru-baru ini mengungkapkan bahwa sekitar 20 persen suku cadang yang dijual di negara itu palsu, banyak di antaranya berasal dari China.
Masuknya produk palsu China ke pasar-pasar India masih menjadi masalah mendesak, yang mengancam baik ekonomi maupun keselamatan konsumen.
Meski pemerintah dan penegak hukum India terus berupaya memerangi masalah ini, permintaan akan barang-barang yang murah dan mudah diakses ini terus meningkat.
Untuk mengatasi perdagangan barang palsu secara efektif, India harus meningkatkan langkah-langkah pengaturannya.
Perbatasan India relatif rentan, dan kekacauan politik baru-baru ini di negara tetangga Bangladesh dan Nepal memperburuk situasi. Namun di sisi lain, kejatuhan ekonomi China secara bertahap mengkhawatirkan dan hanya akan memperburuk situasi.
Meningkatkan kesadaran konsumen tentang risiko terkait produk-produk palsu sangatlah penting. Pendekatan multifaset yang melibatkan tindakan pemerintah yang ketat, kolaborasi dengan para pemangku kepentingan industri, dan pendidikan publik sangat penting untuk mengurangi impor barang-barang palsu China ke India.