Cita citanya Jadi Pelaut Eh Malah Jadi Diplomat
pak Djo panggilan akrab Dubes Djauhari Oratmangun, mulai bertugas di Beijing sejak Februari 2018. Diplomat senior ini termasuk salah satu Dubes yang bertugas lama dan dipercaya oleh Pemerintahan Jokowi. Djauhari juga dikenal sebagai dubes yang gaul dan amat komunikatif. Gaya bicaranya sangat cair dan cepat akrab dengan banyak orang.
Menjadi dubes adalah cita-citanya sejak kecil. Djauhari lahir di desa Beo, Sulawesi Utara, 66 tahun lalu. Saat sekolah, dia terinspirasi oleh tulisan-tulisan seorang wartawan senior Kompas, bernama Threes Aloysia Santosa atau dikenal dengan nama Threes Nio, yang bertugas di New York, Amerika Serikat (AS) sekitar tahun 1960-1970an.
Threes Nio dikenal sebagai wartawan yang ulet, keras, tidak mudah menyerah serta disiplin. Menurut mantan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja, Threes Nio layak dijadikan panutan wartawan Indonesia. Threes wafat pada Desember 1990 di New York sepulang meliput konferensi GATT di Brussles, Belgia, karena serangan jantung.
Bisa diceritakan, apa saja suka dan duka menjadi diplomat?
Menjadi diplomat adalah passion saya. Sejak kecil saya bercita-cita ingin ke luar negeri. Awalnya saya ingin jadi pelaut, seperti kebanyakan cita-cita orang Ambon. Pernah juga ingin jadi petinju. Eh malah jadi diplomat.
Sukanya menjadi diplomat itu, saya memiliki energi positif dalam cara pandang atau melihat segala persoalan. Sedangkan dukanya, sepertinya nggak ada, hahahaha
Banyak orang Ambon yang suaranya bagus. Kenapa Bapak nggak jadi penyanyi?
Nah, kalau jadi penyanyi saya nggak bisa. Suara saya cempreng. Adik saya yang pintar menyanyi, makanya dia jadi penyanyi dan pelaut.
Ayah saya seorang guru. Pesan ayah saat itu, kalau saya mau ke luar negeri, jadilah diplomat. Dan, masuk sekolah diplomat di Yogyakarta. Saya juga dikasih bacaan-bacaan tentang kehidupan diplomat dan politik luar negeri. Salah satu tulisan yang menginspirasi saya adalah dari wartawan kompas bernama Threes Nio. Dia wartawan yang bertugas di New York, banyak menulis tentang politik luar negeri dan PBB di tahun 1960-1970an. Saat itu Dubes RI di Amerika Serikat adalah Roeslan Abdul Gani.
Saya terkesan dengan tulisan-tulisan Threes Nio itu, sehingga saya sampaikan ke ayah saya. Niat saya untuk menjadi diplomat pun semakin mantap. Lalu, saya kuliah di Fakultas Ekonomi UGM dan melanjutkan karier di Kementerian Luar Negeri.
Masih ingat di mana pertama kali Bapak ditugaskan sebagai diplomat?
Tugas pertama saya di perutusan tetap di Dewan Kehormatan PBB, di New York. Nah, karena saya sering membaca tulisan-tulisan Threes Nio sampai akhirnya saya bisa bertugas di PBB itu, jaraknya sekitar 10 tahun. Luar biasa kan.
Setelah bertugas di New York, lalu saya ditugaskan di Genewa dan kembali ke New York. Jadi, hampir 21 tahun berdinas di Kementerian Luar Negeri, terkait multilateral, mengurusi lembaga-lembaga internasional termasuk PBB.
Di waktu luang, apa saja kegiatan Pak Dubes? Boleh diceritakan dong apa saja hobi Bapak?
Saat usia masih muda, hobi saya main bola, tenis, pingpong, karate dan yudo. Nah, di usia sekarang, hobi saya naik sepeda dan jalan kaki. Di Beijing, hampir tiap hari jalan kaki. Bersama istri, saya menelusuri desa-desa di sini, jalan di taman, sekaligus kita jadi mengetahui kebiasaan masyarakat setempat. Juga menikmati makanan khas setempat. Hal itu sangat menyenangkan.
Pelajaran penting apa yang bisa kita tiru dari filosofi kehidupan orang-orang di China?
Saya sering sampaikan kepada adik-adik mahasiswa, bahwa negara akan maju kalau ada semangat cinta tanah air. Itulah yang namanya nasionalisme. Rasa kebangsaan inilah yang men-drive suatu negara jadi maju. Pernah ada suatu survei, dengan pertanyaan: What make you proud as an Indonesian? Nah, dari 8 jawaban, tujuh di antara jawaban teratas adalah terkait nasionalism, rasa cinta pada bangsa negara.
Jawaban ke-8, baru tentang economic development. Jadi, rasa cinta kepada bangsa men-drive pembangunan ekonomi. Nah itu yang terjadi di China. Cinta kepada bangsa membuat mereka mau membangun ekonomi negaranya.
Hal lain, orang-orang China itu pekerja keras, disiplin dan menghargai seniornya, orang yang lebih tua. Family taste-nya luar biasa. Saya respek kepada mereka melihat nilai-nilai ini. Jadi, pertama nasionalisme. Kedua respect to seniors. Dan ketiga, pekerja keras. Nilai-nilai itulah yang ada di sini. Seperti kita juga di Indonesia.
Apakah ada pesan khusus dari Pak Dubes untuk para pembaca Rakyat Merdeka?
Saya sudah tahu dan kenal Rakyat Merdeka lama sekali. Rakyat Merdeka adalah media Indonesia yang isinya kritis, tapi full positive energy. Kritiknya membangun. Kritik yang di dalamnya membuat kita introspeksi, sehingga kita terdorong untuk terus melakukan hal-hal yang terbaik untuk kemajuan bangsa.
Saya lihat itulah keunikan gaya dan style-nya dari Rakyat Merdeka. Pesan yang ditulisnya itu tersampaikan ke masyarakat. Karena itu, jangan kaget kalau pembaca-pembaca Rakyat Merdeka, baik yang online maupun cetak itu luar biasa. Saya salah satunya.








