Tragedi Nunggu Di Ujung

Tragedi Nunggu Di Ujung

Berita Utama | BuddyKu | Minggu, 2 Oktober 2022 - 06:45
share

Bagi sebagian masyarakat yang terlibat sengketa hukum, sepertinya ada prinsip: kita tunggu di MA. Kita main di sana, di ujung.

Prinsip itu sangat tidak sehat. Karena motifnya bukan mencari keadilan. Tapi main. Istilah popularnya semua bisa diatur. Hukum bisa dibeli, seolah-olah membeli pisang goreng di pinggir jalan.

Itulah yang tergambar dari kasus suap yang menimpa Hakim Agung Sudrajad Dimyati. KPK menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA terkait Koperasi Simpan Pinjam. Melibatkan uang miliaran.

Terseretnya koperasi dalam kasus ini membuat kita semakin miris. Koperasi adalah sokoguru perekonomian Indonesia. Sokoguru, atau tonggak, tiang tengah, menjadi pilar penting, tulang punggung ekonomi rakyat.

Itulah masalahnya. Keterkaitan oknum koperasi, hakim agung dan korupsi, menjadi ironi tragis, dari sekian banyak ironi yang sangat menyakitkan dalam dunia hukum kita. Susah diterima akal sehat.

Kalau ditarik lebih ke belakang, konstruksinya membuat kita lebih khawatir dan sedih lagi. Rapuh. Tahun 2013, saat pemilihan hakim agung di DPR, publik dihebohkan dengan berita skandal suap di toilet DPR. Kehebohan ini melibatkan Sudrajat Dimyati dengan salah seorang anggota DPR.

Tapi, belakangan, Komisi Yudisial (KY) menyatakan Dimyati tidak bersalah. Dia lolos, walau seorang anggota DPR menyebut itu sebagai pamali. Sekarang, rakyat tahu, apa yang menimpa Hakim Agung Sudrajat Dimyati. Bagaimana wajah hukum di negeri ini.

Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa masalahnya bukan hanya di perorangan atau individunya. Tapi sistem. Sebuah mata rantai solid yang saling terkait.

Karena itu, reformasi hukum bukan lagi sekadar pemanis bibir, dibicarakan di seminar, menjadi visi-misi saat kampanye. Itu semua sudah usang. Sudah bertumpuk-tumpuk. Sangat membosankan.

Yang diperlukan sekarang: Tindakan. Aksi konkret, jelas dan tegas. Sat-set, sat-set. Gerak cepat dan tepat. Out of the box . Tidak mainstream. Bukan lagi sekadar tekad mari kita jadikan kasus ini sebagai momentum melakukan perbaikan. Bukan sekadar itu. Itu sudah terlalu sering.

Kalau tidak ada aksi konkret, percuma. Hanya heboh sebentar, kemudian tertutup oleh kasus-kasus seksi lainnya. Lalu hilanglah momentum itu.

Ada usulan dari mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun supaya persidangan di MA dilaksanakan secara terbuka, bagus.

Ada juga usulan supaya pegawai di MA dirotasi secara rutin supaya mereka tidak sempat membuat jaringan, jugas bagus. Menko Polhukam Mahfud Md, menyuarakan hukuman mati, juga menarik. Banyak lagi usulan lainnya.

Satu yang masih ditunggu: tindakan konkret lewat aksi yang konsisten dan berkelanjutan. Bukan hanya sekadar merotasi pegawai, sidang terbuka, atau bahkan hukuman mati. Tapi lebih dari itu.

Kalau tidak, hukum Indonesia akan terus berkembang menjadi industri atau pasar hukum yang kian semarak dan liar. Semua orang bisa masuk ke pasar membawa sekoper uang. Bebas berjalan ke mana saja. Keluar masuk toko. Tawar-menawar. Bisa memilih yang lebih murah dan enak. Menikmati kuliner hukum made in Indonesia.

Sekarang, tragedi hukum ini harus dihentikan. Segera!

Topik Menarik