SEMPAL Kecam Cawe-cawe Dinasti Politik Jokowi dalam Pilkada, Minta Bawaslu Lebih Pro Aktif

SEMPAL Kecam Cawe-cawe Dinasti Politik Jokowi dalam Pilkada, Minta Bawaslu Lebih Pro Aktif

Nasional | badung.inews.id | Sabtu, 14 September 2024 - 01:40
share

SOLO, iNewsbadung.id - Solo melawan Politik Amoral (SEMPAL) kecam cawe-cawe dinasti politik dalam pilkada, serta meminta Bawaslu lebih pro aktif.

Yosep Heryanto, Juru Bicara Sempal menyebut dinasti politik Jokowi masih cawe-cawe dalam pilkada Surakarta dan Jawa Tengah.

Menurut Yosep Heryanto, cawe-cawe dinasti politik Jokowi secara terang-terangan dilakukan Gibran, setelah sebelumnya Gibran Rakabuming Raka, wakil presiden terpilih, secara terang-teranga menemani Ahmad Luthfi ke KPU.

"Tanpa punya etika, secara terang-terangan masih dilanjutkan dengan cawe-cawe dalam pilkada Solo, Gibran terlibat dalam kegiatan sosialisasi pasangan calon (paslon) Respati dan Astrid" ujar Yosep Heryanto dalam rilis yang dikirim ke iNewsbadung.id.

Ungkapan Yosep Heryanto ini merupakan kesimpulan Diskusi Kamisan SEMPAL yang digelar Kamis (12/9/2024) di Kedai Kopi, Laweyan.

Yosep Heryanto menambahkan, kegiatan blusukan yang dilakukan Gibran bersama Respati - Astrid, disertai dengan pembagian sembako kepada masyarakat, sudah terekam media, Selasa (10/09/2024).

Yosep Heryanto juga mengutip dari beberapa media, terkait pernyataan Budi Wahyono, Ketua Bawaslu Solo yang mengatakan belum ada peserta Pemilu yang ditetapkan KPU, itu bagian dari sosialisasi.

"Tentu kami menghimbau sosialisasi dalam konteks yang tidak melakukan upaya-upaya, misalnya pembagian sembako dan uang. Tapi kalau sekadar memasang alat peraga sosialisasi, itu bagian dari mereka rebut ruang untuk sosialisasi," sebut Yosef menirukan penjelasan Budi Wahyono.

SEMPAL melihat bahwa masalahnya bukan sekedar sosialisasi, tapi Bawaslu dapat lebih jeli dalam melihat keterlibatan Gibran secara etika politik sebagai wakil presiden terpilih.

Dikatakan Yosep Heryanto, pilkada adalah momentum penting bagi rakyat untuk memilih pemimpin daerah secara bebas dan adil, di mana dalam proses ini, netralitas pejabat publik dan figur nasional adalah hal yang tidak bisa ditawar.

Kehadiran Gibran sebagai figur penting di tingkat nasional dalam pilkada lokal Solo, dikatakan Yosep Heryanto dapat mengganggu keseimbangan yang ada.

"Seharusnya, seorang wakil presiden terpilih, yang posisinya sangat strategis di panggung nasional, tidak terlibat dalam politik lokal, terutama saat sosialisasi pemilihan kepala daerah," ujar Yosep.

Namun, dengan ikut serta dalam blusukan bersama paslon Respati dan Astrid serta terlibat dalam pembagian sembako, Yosep menilai bahwa Gibran sudah mengaburkan batas antara tanggung jawab nasional dan politik praktis di tingkat lokal.

"Ini butuh etika politik, maka Bawaslu mestinya bisa menghimbau, sehingga para calon mengedepankan etika politik agar memberikan pendidikan politik yang benar kepada masyarakat, bukan malah memberikan pendidikan politik yang melanggar etika," urai Yosep.

Dikatakan Yosep Heryanto, keterlibatan Gibran dalam sosialisasi bukan persoalan kecil, karena sebagai wakil presiden terpilih yang memiliki pengaruh besar, kehadirannya dalam mendampingi paslon tertentu memberikan keuntungan yang tidak adil.

Masyarakat dengan mudah dapat memaknai bahwa Gibran secara langsung mendukung pasangan calon tersebut, sebagai tindakan yang sangat amoral dalam konteks demokrasi.

Keterlibatan ini disebut Yosep bisa dianggap sebagai penyalahgunaan posisi strategis di tingkat nasional untuk mempengaruhi proses pemilihan daerah.

Lebih jauh Yosep Heryanto menegaskan, bahwa diskusi kamisan yang dilakukan SEMPAL melihat bahwa pembagian sembako dalam kegiatan blusukan yang didampingi Gibran menambah lapisan kerumitan dalam persoalan ini.

Politik sembako, atau pembagian bantuan kepada masyarakat menjelang pemilu, sering dianggap sebagai bentuk politik suap, di mana bantuan material digunakan untuk membeli dukungan suara dari masyarakat miskin.

Pada tingkat yang lebih fundamental, politik sembako merusak esensi demokrasi, kareba Pemilu seharusnya menjadi ajang kontestasi ide, visi dan program yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan ajang kompetisi siapa yang memberikan bantuan lebih banyak.

SEMPAL juga mengabalisa, dalam konteks Solo, keterlibatan Gibran menambah ketidaknetralan proses pemilu, karena sebagai wakil presiden terpilih, kehadirannya dalam mendampingi paslon tertentu memberikan pengaruh negatif besar terhadap cara pandang demokrasi, bahwa politik boleh menghalalkan segala cara tanpa mengindahkan etika.

Masyarakat yang melihat Gibran mendampingi Respati dan Astrid dapat mudah mengasosiasikan kehadiran Gibran dengan dukungan langsung dari pemerintah pusat atau figur nasional yang sangat kuat.

Hal ini tentu menciptakan ketidakseimbangan dalam kompetisi politik dan merugikan paslon lain yang tidak memiliki akses ke figur nasional sekelas Gibran.

Lebih dari itu, keterlibatan Gibran juga menimbulkan pertanyaan tentang etika politik dan kepemimpinan yang seharusnya ditunjukkan.

Sebagai wakil presiden terpilih yang seharusnya membawa harapan baru bagi politik Indonesia, Gibran justru menunjukkan tidak kebal terhadap godaan politik praktis yang merusak demokrasi.

Yosep melihat, dalam konteks ini, keterlibatannya lebih dari sekadar masalah hukum, karena ini adalah masalah moral dan prinsip.

"Seorang pemimpin nasional harus menjadi contoh bagi pejabat publik lain tentang menjaga netralitas dan integritas dalam proses demokrasi, terutama di tingkat daerah," tansas Yosep.

Pada akhirnya, apa yang dilakukan Gibran dalam mendampingi paslon Respati dan Astrid dalam kegiatan sosialisasi, dikatakan Yosep bukan sekadar persoalan teknis atau aturan semata.

Ini merupakan soal komitmen terhadap prinsip demokrasi, etika kepemimpinan dan tanggung jawab moral seorang pemimpin nasional, karena dalam situasi seperti ini, yang diperlukan bukan hanya teguran ringan atau peringatan, namun juga tindakan tegas dari lembaga pengawas pemilu untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang kebal terhadap hukum, termasuk seorang wakil presiden terpilih yang mempunyai pengaruh besar.

Sebagai rakyat yang menjunjung nilai demokrasi yang bermoral dan beretika, Yosep mengingatkan bahwa demokrasi yang sehat adalah demokrasi di mana proses pemilihan berlangsung adil, jujur dan transparan.

Keterlibatan figur nasional dalam politik lokal hanya akan merusak fondasi demokrasi.

"Gibran, sebagai wakil presiden terpilih, seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga netralitas dan integritas demokrasi, bukan justru menjadi bagian dari masalah," sebut Yosep.

Jika demokrasi Solo ingin tetap kuat, maka figur seperti Gibran harus menjaga jarak dari politik praktis dan fokus pada tanggung jawabnya sebagai calon pemimpin nasional yang menjaga keadilan dan integritas demokrasi.

Yosep juga meminta Bawaslu, agar jangan terjebak pada aturan formal, karena proses politik merupakan pendidikan politik langsung, paling berharga buat rakyat, terutama generasi muda.

"Etika dan moral baik dalam demokrasi harus dikedepankan," pungkas Yosep.

Semoga tulisan tentang SEMPAL Kecam Cawe-cawe Dinasti Politik Jokowi dalam Pilkada, Minta Bawaslu Lebih Pro Aktif, dapat bermanfaat bagi para pembaca, jangan lupa share dan nantikan selalu tulisan lain hanya di iNewsbadung.id. ***

Topik Menarik